bila nikah campur jadi pilihan--secuil cerita dari “Nikah..

smusdar

Member
Dec 19, 2005
167
0
16
jakarta
www.click4trip.net
BILA NIKAH CAMPUR JADI PILIHAN
Nuni Berger

Cerita di bawah diambil dari buku : “Nikah Sama Bule...?!: Diary Cinta Muslimah dengan Lelaki Negeri Seberang” diterbitkan oleh Forum Lingkar Pena, Anak Perusahaan Mizan, awal April 2006.

Nuni Berger pernah bekerja sebagai editor di harian Group KOmpas Gramedia, columnist di http://www.satunet.com (group M Web) untuk divisi seni, budaya dan gaya hidup.

Saat ini sebagai columnist di OZIP magazine, majalag bulanan masyarakat Indonesia di Melbourne dan masih aktif mengirim cerita di majalah wanita di Jakarta.

Jika cerita ini memberi inspirasi anda, wanita Indonesia, atau ingin curhat hal yang sama, feel free to send email to [email protected], akan jadi bahan tulisan yang menarik untuk Nuni Berger.

--------------------------------

“Mbak, enak nggak sih menikah sama orang asing?”
Wah… wah… terus terang ini pertanyaan yang sering saya terima di awal-awal pernikahan kami, rasanya benar-benar sulit dijawab. Namun seiring perkembangan usia dan wawasan yang berkembang, saya pun coba terbuka menjelaskan secara simpel. Dan biasanya mereka yang bertanya akan manggut-manggut, entah mengerti atau hanya asal merespon.
Yang jelas saya sering mendengar komentar lucu terhadap perempuan Indonesia yang kebetulan menikah dengan orang asing (bule). Kira-kira begini bisik-bisik yang sering saya dengar. “Kaya artis aja ya, suaminya bule. Memang sekarang lagi tren ya gadis Indonesia kawin sama orang asing.”
Terus terang, kalau boleh membela diri, saya hanya ingin mengungkapkan bahwa jodoh itu di tangan Tuhan. Atau mungkin ada yang berpikiran lain, entahlah. Yang pasti, dulu saya pun nggak pernah berpikir bakal menikah dengan orang asing--terutama Barat --yang budayanya sangat beda dengan kita yang berlatar belakang Melayu. Mereka suka keju dan roti, kita suka sambal dan nasi. Itu salah satu contoh perbedaan yang menyolok. Belum lagi cara mereka hidup sehari-hari, sehingga kalau kita tidak siap menghadapinya, bisa pusing tujuh keliling gara-gara hal sepele.
Konsekuensinya, kita harus siap-siap menghadapi berbagai masalah yang muncul sebagai akibat dari kawin campur itu sendiri. Mulai dari status kewarganegaraan sang buah hati, urusan dalam negeri--mau pakai gaya Barat yang independen, liberal dan egaliter, atau lebih bernafaskan Indonesia yang menjunjung tinggi sopan santun dan adat istiadat ketimuran--hingga urusan kepemilikan harta antarpasangan yang menyangkut norma hukum yang berbeda di negara masing-masing. Maka, benar kata sebagian teman saya, menikah dengan pria yang sebangsa pasti ada saja masalahnya, apalagi dengan mereka yang beda budaya, bahasa, dan sebagainya.
Namun bak kata pepatah “asam di gunung, garam di laut bertemu jua dalam belanga”, rasanya sulit menghindar bila panah asmara sudah bicara. Setidaknya ini yang terjadi pada saya dan suami yang berasal dari Selandia Baru. Siapa yang kuasa menolak datangnya cinta? Demikian juga yang terjadi pada pasangan lainnya. Bagi saya, jodoh yang diikat oleh cinta murni telah mengekalkan keduanya dalam sebuah komitmen luhur yang dijunjung salama hayat masih di kandung badan.
Demikianlah sejak akad nikah di depan penghulu, kami pun sudah sepakat untuk mengarungi hidup ini, termasuk menghadapi ‘ombak’ yang bergelora di sepanjang perkawinan. Dan selayaknya pasangan pada umumnya, pasangan campur pun harus berpedoman pada ajaran, sedia payung sebelum hujan. Lho, memangnya kenapa? Saya rasa ini berlaku umum. Sebelum kita melakukan sesuatu harus lebih dulu memahami peraturannya agar selamat sampai tujuan. Nah, demikian pula halnya dengan pasangan beda bangsa. Mudah-mudahan pengalaman saya ini berguna bagi siapapun yang membacanya.

Our Nice Story
Boleh dong saya mengatakan bahwa cerita saya sebagai sesuatu yang ‘indah’. Karena datangnya memang serba tak terbayangkan. Saya dan suami menganggapnya sebagai anugerah terindah dari-Nya. Pertemuan kami dimulai sekitar lima tahun lalu, tepatnya awal tahun 2000. Saya yang waktu itu masih bekerja sebagai jurnalis di sebuah cyber media, tiba-tiba mendapatkan message dari seseorang tak dikenal di bilik chatting saya.
Tanpa panjang lebar, pesan yang to the point itu saya jawab dengan bahasa yang kurang ‘bersahabat’. Pasalnya si pemberi pesan hanya ingin minta konfirmasi bahwa ajakannya untuk berteman dengan dia disetujui oleh saya. Dan entah mengapa saya tidak berselera untuk berteman dengan dia, yang sudah pasti menggunakan nama samaran itu.
Herannya, dia datang lagi keesokan harinya. Dia mencoba lebih bersahabat dan berbasa basi bahkan tanpa diminta membeberkan jati diri sebenarnya. Ah… menurut saya waktu itu, ini pasti hanya orang iseng yang ingin ngobrol seperti netters lainnya. Namun entah mengapa hari demi hari percakapan kami semakin menarik dan ‘dalam’ (tidak sekadar ngobrol yang bersifat datar). Dia tahu banyak soal IT (karena itu memang profesinya), buku-buku bermutu, filosofi, sejarah, politik, hobi, masak memasak dan sama-sama suka memelihara kucing!
Saya yang memang suka ngobrol dan diskusi merasa menemukan teman baru yang asyik untuk diajak bicara soal apa pun. Jadilah setiap hari tiada waktu tanpa chatting dengannya. Setidaknya setiap hari kami bicara selama satu hingga dua jam. Saya pun semakin tenggelam ‘ngobrol’ tanpa pernah tahu wajah si dia. Hingga suatu saat setelah beberapa bulan chatting, saya iseng-iseng menanyakan foto si dia. Saat bertukar foto saya lebih banyak berkomentar soal kucing perempuannya yang lucu. Jadi belum ada tanda-tanda tertarik satu sama lain.
Anehnya sekitar setahun setelah chatting kami merasa ‘hampa’ bila salah satu pihak tidak muncul. Namun karena sama-sama gengsi, tidak ada yang berani mengungkapkan perasaan masing-masing. Untungnya ada mediator--kakak perempuan saya--yang mau menengahi sifat keras kepala kami. Setelah itu pembicaraan menjadi lebih serius dan mengarah pada hal-hal masa depan. Bisa ditebak, karena beda budaya dan sebagainya apalagi kami banyak bicara tanpa saling melihat, banyak masalah timbul karena beda persepsi. Kalau sudah begini, lagi-lagi kakak saya yang mendamaikan kami.
Kemudian dia mengatakan ingin mengunjungi saya dan keluarga di Jakarta. Jadilah kami bertemu muka. Banyak hal lucu dan menarik terjadi. Saat dia datang ke Indonesia selama sebulan, Desember 2001, Rayner--demikian nama panggilannya--mengaku belajar banyak memahami watak dan budaya saya termasuk mengenal lebih dekat keluarga dan teman-teman dekat saya.
Tentu saja hari-hari pertama kami masih merasa malu dan kikuk satu sama lain, barulah setelah merasa lebih dekat, akhirnya perbincangan seru, kocak, seperti di bilik chatting mengemuka. Kami merasa cocok dan klop. Aneh juga, saya merasa nyaman dekat dengan dia, padahal baru bertemu muka beberapa hari lalu. Tapi calon suami saya ini agak sulit beradaptasi dengan makanan yang pedas, cuaca di Jakarta yang terlampau panas juga kemacetan serta polusi udara.
Setelah dia kembali ke negaranya, hubungan kami semakin dekat dan dia mendapat kesempatan bekerja di Australia. Tak lama setelah menetap di Australia, dia bahkan berani menyatakan niatnya untuk menikah dengan saya. Terus terang saya masih belum 100 persen menerima ajakan nikahnya, karena orangtua belum tahu soal ini. Apalagi mereka masih berharap saya menikah dengan pria lokal.
Tapi di mata saya, pria asing ini punya beberapa kelebihan. Meski hati saya belum berani mengakuinya 100 persen, namun saya merasa ada sesuatu yang bikin dia berbeda. Ya, kesabarannya meladeni sikap saya yang cenderung emosi, labil dan mau menang sendiri itu. Mungkin juga karena usianya yang terpaut enam tahun lebih tua itu membuat saya merasa di-emong olehnya. Semoga penilaian saya ini benar adanya (selalu)!
Akhirnya dengan tekad bulat, saya terima lamarannya. Alhamdulillah keluarga juga menerima setelah diyakinkan banyak hal oleh kami berdua, termasuk soal masa depan kami yang memutuskan tinggal di Negeri Kangguru setelah menikah. Rayner berpikir merasa lebih stabil dan mempunyai masa depan yang lebih baik di Australia. Sementara saya pribadi harus rela mengambil keputusan besar berkorban meninggalkan karier jurnalis yang sudah saya rintis dengan susah payah itu. Mungkin ini adalah jalan hidup yang harus saya tempuh dengannya. Tapi saya bertekad bulat inilah pilihan hidup saya dan yang lebih penting orangtua mendukung niat kami berdua.

Oh ya, hari resepsi penikahan kami jatuh pada Sabtu, 9 Agustus 2003. Resepsi sederhana dengan adat tradisional Jawa itu dihadiri sejumlah kerabat, teman dan tetangga. Bagi suami ini adalah pesta yang meriah dan berbeda. Menurutnya, baru kali ini dia melihat begitu banyak orang datang ke acara pesta. Karena di negaranya orang menikah hanya dihadiri oleh sejumlah saudara dan teman dekat.
Kami merasa terharu karena pesta berlangsung sukses. Kami berharap semoga ini pertanda baik bagi kehidupan pernikahan kami selanjutnya. Tak lupa kami ucapkan terima kasih bagi semua handai tolan yang hadir saat itu, termasuk ibunda suami yang datang jauh jauh dari Selandia Baru. Soal ibu mertua ini ada hal menarik yang saya lihat saat dia menghadiri pernikahan kami. Saya dan keluarga melihat saat prosesi upacara digelar, dia kerab menangis terharu. Kata ibu mertua ketika menjawab pertanyaan saya, dia menangis karena teringat suaminya yang lebih dahulu mendahuluinya ke alam baka, sehingga tidak bisa melihat anak laki-laki pertamanya berbahagia di pelaminan.

Bolak-Balik Memperbarui Visa
Teman perempuan saya yang juga menikah dengan pria asing bercerita, sebelum dia menikah, lebih dulu harus membuat perjanjian pranikah. Kata dia ini lebih baik dilakukan untuk menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan jika suatu saat perkawinan mereka bermasalah. Misalnya teman saya itu membuat perjanjian, maka harta yang ia peroleh--termasuk properti yang ia beli di tanah air--otomatis menjadi miliknya, dan pengakuan negara atas harta tersebut 100 persen. Itu salah satu contoh kegunaan perjanjian pranikah yang dapat menolong pasangan beda bangsa.
Saya setuju dengan pernyataannya. Tapi bagi kami berdua itu menjadi hal yang telat. Karena terdesak waktu, kami tak sempat memikirkan dan mengurus hal tersebut. Lagipula bagi kami saat itu, mudah-mudahan pernikahan dengan niat baik ini tak perlu diricuhkan soal hal-hal semacam itu. Tapi bila belajar dari pengalaman dia dan juga kakak perempuan saya yang menikah dengan orang asing, rasanya itu memang menjadi pilihan tepat bagi perempuan Indonesia yang ingin menikah dengan orang asing.
Masalah lain yang harus diperhatikan adalah tentang pilihan menikah (cara Indonesia atau mengikuti budaya suami) dan tempat menikah. Karena ini akan berhubungan dengan hukum yang berlaku bagi kedua pasangan, termasuk saat mengurus surat-surat penting yang menyangkut hajat hidup kita kelak. Tapi jangan putus asa dulu. Karena semua itu ada aturannya kok. Kita tinggal mengikuti dan menyiapkan segala sesuatunya dengan baik.
Pengalaman saya sendiri setelah resmi menjadi Nyonya Rayner Berger cukup seru dan menantang. Bayangkan dengan status baru itu, saya tidak dengan serta merta boleh seenaknya tinggal mengikuti suami di Australia. Karena menyangkut soal keimigrasian, banyak syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seseorang yang ingin tinggal di sana. Perasaan galau pun memenuhi pikiran kami berdua. Bagaimana bila kami tidak bisa hidup bersama setelah pernikahan ini? Pilihan praktis pun kami tempuh. Karena suami saya bukan warganegara atau penduduk tetap (pemegang visa permanent resident/PR) Australia maka dia tidak bisa mensponsori saya untuk tinggal di Australia dalam jangka waktu tertentu.
Terpaksa saya menggunakan turis visa yang berlaku selama tiga bulan agar bisa mendampingi suami di Australia. Tentu saja pilihan ini memakan biaya dan pengorbanan emosi yang luar biasa. Setiap tiga bulan sekali selama setahun--sebelum akhirnya suami mendapat visa PR dan akhirnya bisa mensponsori saya untuk mengajukan visa istri-- saya harus kembali ke Jakarta untuk memperbarui visa turis saya.
Kami bersyukur ketika akhirnya Mei 2005 aplikasi spouse visa saya disetujui. Ini berarti kami bisa hidup wajar layaknya pasangan suami istri lainnya. Namun saya selalu mengambil hikmah di setiap kejadian yang saya alami. Termasuk soal kehidupan di awal pernikahan yang cukup menantang itu.
Saat menjalani hari-hari pertama pernikahan yang harus berpisah untuk sementara waktu itu tentu saja sering diliputi oleh rasa sedih, kangen yang tak terungkapkan apalagi karena jarak dan waktu yang membentang itu. Tapi bagi kami, hidup jadi semakin bergairah, bergelora, dan berarti. Setidaknya ada perasaan berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Rupanya kesabaran kami akhirnya toh terjawab pula. Semoga kesabaran kami menanti anak-anak manis yang beakhlak mulia sebentar lagi juga segera dijawab Allah. Setiap saat kami berharap soal yang satu ini sambil terus berusaha tanpa lelah. Mungkin ini salah satu hal yang harus diperjuangkan lagi oleh kami berdua.

Lezatnya Makanan Buatan Suami
Ada kisah sedih, pasti ada cerita bahagia. Bukankah hal ini memang menjadi satu paket dalam setiap kehidupan manusia. Termasuk saya yang selalu mengalami hal-hal seperti itu secara bergantian. Kata banyak orang itu hal lumrah dan berguna untuk menempa jiwa dan raga kita menjadi manusia dewasa yang sesungguhnya. Di bagian ini saya akan menceritakan pengalaman sehari-hari setelah menikah dan berteman dengan banyak orang dari latar belakang budaya yang berbeda.
Hmmm, beruntunglah saya punya suami yang mau berbagi tugas sehari-hari. Kenapa beruntung? Ketika beberapa teman di sekolah (kebetulan saya sekolah lagi) menggerutu karena sangat lelah selepas sekolah harus memasak, berbenah, dan lain-lain, saya masih bisa bernafas lega bahkan tersenyum dalam hati sebagai respon dari keluhan tersebut.
Lho kok? Bukan maksud saya bersikap kurang sopan. Sebab justru sebaliknya, saya akan merasa kurang sopan bila saat itu juga mengungkapkan apa yang saya rasakan kepada teman-teman yang kebetulan sebagian besar dari mereka punya latar belakang budaya dari negara-negara Asia seperti Asia Tenggara dan Asia Selatan. Namun di lain kesempatan--dengan kondisi yang lebih baik--saya pun coba berani memulai percakapan soal tugas-tugas domestik yang banyak dikeluhkan teman-teman tersebut.
Topik ini segera mengemuka, ketika dalam suatu kesempatan di kelas, guru kami (kebetulan perempuan) membahas soal masalah peran gender dalam kehidupan sehari-hari. Dia bahkan menegaskan sudah saatnya suami istri punya tanggungjawab yang sama dalam melakukan tugas/kerja sehari-hari di rumah sesuai dengan kondisi (jadwal) mereka sehari-hari. Maksudnya? Ya, sepertinya cukup logis ketika istri sibuk dengan tugas domestik selama lima hari dalam sepekan, maka di akhir pekan, gantian istri yang diberikan kesempatan untuk libur sejenak, bercengkrama bersama teman-temannya atau sekadar punya waktu untuk merawat diri.
Kesempatan menyenangkan seperti itu memang sulit dilakukan kaum perempuan di sini (mayoritas negara maju) yang berkeluarga dan tanpa bantuan tenaga dari saudara/orangtua, apalagi pembantu seperti yang mudah kita peroleh di Indonesia. Seperti kebanyakan keluarga-keluarga lainnya, tugas istri semakin berat ketika dia juga ikut bekerja di luar rumah untuk membantu menambah penghasilan keluarga. Banyak juga istri yang harus sekolah lagi mengingat standar kualifikasi pendidikan yang berbeda antara negara asal (Indonesia) dan negara maju tersebut.
Jadi kalau kita mau bekerja lagi, tidak bisa langsung begitu saja. Yang pertama-tama harus dilakukan adalah meningkatkan kemampuan bahasa asing dan melanjutkan sekolah sesuai bidang yang kita kuasai di tanah air. Maka jadwal rutin para istri/ibu di sini adalah berbenah di pagi hari untuk menyiapkan keperluan suami dan anak-anak, lantas bersiap diri untuk pergi beraktifitas.
Berpikir punya pembantu? Itu menjadi sesuatu yang mewah di sini. Kecuali memang kita sudah sangat berlebihan dengan kondisi finansial kita. Makanya, hidup di sini sudah pasti dituntut harus lebih mandiri, cekatan dan nggak malas-malasan lagi seperti yang sering kita lakukan di tanah air. Boleh saja kalau mau santai, tapi konsekuensinya kita bakal ketinggalan ‘kereta’.
Nah, kembali kepada permasalahan teman-teman saya tadi. Mereka mengeluh, karena harus melakukan rutinitas yang sama setiap hari, dan tanpa bantuan sedikit pun dari suami mereka. Padahal pekerjaan seberat apapun kalau dilakukan bersama-sama akan terasa lebih ringan. Bukankah, berat sama dipikul ringan sama dijinjing?
Bahkan, seorang teman menceritakan perilaku manja sang suami, yang menurut guru saya itu sudah sangat keterlaluan. Rupanya, suami teman saya tadi setiap hari minta dilayani bak seorang raja. “Saya harus menyodorkan minuman atau makanannya ke tempat tidur. Setiap pagi saya juga harus menyiapkan bekal untuk dia. Dan pulang sekolah, saya harus memasak untuk makan malam,” demikian pengakuan teman saya. “Lantas apa kerja suami kamu di rumah?” timpal guru saya. “Suami saya lebih suka membaca, membuka komputer dan nonton TV. Di akhir pekan, saya juga sering bebenah sendiri, karena dia lebih suka bermalas-malasan (lazy day) seharian,” ujar teman saya lagi.
Setelah tahu permasalahan beberapa teman saya jadi merasa lebih beruntung. Bagaimana tidak? Setiap akhir pekan, suami dengan rela memanjakan saya. Dia memasak makanan-makanan yang lezat untuk kami nikmati bersama. Dia selalu antusas mengenalkan kepada saya banyak masakan Barat yang memang agak asing di lidah orang Melayu. Saya paling senang kalau dia memasak cannelloni atau aneka cake. Dia memang cukup ahli untuk itu. Tentang cannelloni, masakan ini sejenis pasta yang di dalamnya diisi oleh campuran potongan bayam siap saji, keju, sayuran dan bumbu dapur lainnya, lantas di panggang bersama saus tomat. Hmmm, yummy bukan?
Pokoknya setiap akhir pekan, saya biarkan dia memasak di dapur. Saya sendiri cukup asyik membantunya bila dia membutuhkan. Dan aktifitas seperti ini, sudah pasti kami nikmati bersama. Kegiatan ini menjadi terapi mujarab bagi kami untuk selalu saling ‘dekat’ satu sama lain dan lebih akrab. Sesuatu yang mungkin berguna bagi setiap pasangan yang ingin memelihara api cinta tetap berkobar.
Wajar kan kalau saya menjadi semakin mencintainya. Apalagi apapun keputusan yang saya ambil--menyangkut diri saya--akan didukungnya, tentunya dengan lebih dahulu memberikan pendapat yang seimbang soal baik atau buruknya. Dukungan seperti itu sudah pasti saya butuhkan, agar langkah lebih mantap dan terarah.
Tapi bukan berarti kami selalu harmonis. Ada kalanya kami bersitegang, terutama di saat saya sedang mood karena pengaruh datangnya siklus bulanan yang tak kuasa ditolak. Rasa ‘sepi’ karena jauh dari keluarga akibat rasa rindu yang tak tertahankan membuat homesick yang ujung-ujungnya membuat perasaan tak menentu, galau, dan sebagainya. Ada saatnya gantian suami yang ngambek karena stres pekerjaan. Juga karena kami beda budaya, pasti ada saja selisih paham yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.
Tapi untunglah, semua ribut-ribut kecil itu biasanya selesai dengan sendirinya dalam hitungan jam. Karena seperti biasa kami membiarkan pihak yang sedang ‘bermasalah’ untuk sendiri sementara waktu. Jika kondisi terlihat sudah mulai aman terkendali alias normal kembali, salah satu pihak bisa mencoba untuk membujuk atau merayu pihak yang cemberut dengan makanan, guyonan dan tentu saja… sentuhan cinta.
Jadi, kalau kembali kepada nasib beberapa teman yang kurang beruntung tadi, saya jadi terinspirasi untuk berbagi dengan mereka. Mudah-mudahan sharing yang sering saya lakukan akan berguna untuk mendorong mereka agar lebih membuka hati, mata dan pikirannya hingga memperoleh yang terbaik. Ah…. mungkin lain orang lain pendapat. Itu sah saja kok. Tapi, sekali lagi saya bersyukur, memiliki suami yang mau mengerti dan memahami serta menghormati istrinya sebagai pribadi yang kompleks. Dengan komitmen seperti ini, mudah-mudahan segalanya menjadi lebih mudah.

Sedia Payung Sebelum Hujan
Peribahasa di atas berguna sekali bagi para perantau seperti saya dan teman-teman lain di belahan dunia manapun. Ini saya rasakan sendiri, bahwa bersiap-siap (persiapan diri) itu selalu lebih menguntungkan daripada tanpa persiapan (nol) sama sekali. Bukan maksud saya untuk menyurutkan niat terutama bagi mereka yang ingin merantau atau hidup di negeri orang, tetapi inilah sejujurnya yang kita butuhkan agar bisa bertahan di negeri orang.
Terus terang, latar belakang saya sebagai jurnalis sedikit banyak membantu proses persiapan diri itu. Sebelum akhirnya saya memutuskan untuk menikah dengan orang asing--dan bakal tinggal di negeri orang pula--saya banyak belajar (bertanya) dari mereka yang sudah berpengalaman. Upaya cari tahu sebanyak mungkin ini saya rasa perlu dan masuk akal bagi setiap orang yang ingin tinggal di negeri baru.
Saya lakukan karena sebagai istri saya tidak mau tergantung kepada suami (bukan berarti ini pesimis). Tetapi kebiasaan berpikir panjang yang saya lakukan dan lihat dari keluarga mengajarkan banyak tentang hal ini. Secara pribadi menurut saya, istri yang independen (bukan soal finansial semata) cenderung akan lebih menikmati hidup dengan baik dan tenang tanpa memikirkan hal-hal yang bakal terjadi di luar sepengetahuan kita. Maksud saya, siapapun tak akan pernah tahu apa yang terjadi dengan masa depan hidup kita (tentunya termasuk perkawinan). Jadi istri yang ‘siap’ dalam arti ‘sedia payung sebelum hujan’ mudah-mudahan bakal lebih kuat dan tahan banting serta berpikir lebih praktikal (cepat bangkit) dalam menghadapi segala kesulitan hidup di dunia ini.
Hidup di luar negeri yang multikultural (penduduknya datang dari berbagai macam budaya yang berbeda) telah mengajarkan banyak hal pada saya. Terus terang, kali pertama saya tinggal di negeri orang, saya pun sempat bertanya-tanya tentang masa depan. Meski saya percaya 100 persen bahwa menjadi ibu rumah tangga itu sangat mulai dan baik. Tetapi dalam hati saya mengakui, secara pribadi saya bukan termasuk golongan yang ‘pasrah’ seperti itu.
Apalagi saya merasa tanpa beraktifitas (di luar tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga), saya merasa seperti katak yang tinggal dalam kurungan. Dan bagi saya, seindah-indahnya kurungan, itu tetap tempat yang tidak menyenangkan. Untunglah, suami mengerti apa yang saya pikirkan dan inginkan. Di tengah-tengah kesibukan mengurus suami dan keluarga, saya masih diberi kesempatan untuk beraktifitas menggeluti hobi lama saya yakni menulis.
Awalnya seperti sebagian kecil mantan perempuan karier yang sempat mengalami rasa post-power syndrome. Alhamdulillah, gejala seperti itu kini berangsur-angsur menghilang. Pekerjaan sehari-hari begitu menguras tenaga dan pikiran. Belum lagi kegiatan kembali ke bangku sekolah dan kerja part time sebagai kolumnis yang saya lakukan untuk sebuah majalah Indonesia di Melbourne. Semua itu membuat saya ‘hidup’ kembali dan seperti menemukan oase yang lama menghilang.
Bagi sebagian perempuan Indonesia, cukup wajar mengalami kondisi transisional seperti ini. Karena itu dukungan positif dari orang terdekat seperti suami dan keluarga sudah pasti sangat dibutuhkan. Seperti yang saya bilang tadi, sekali lagi saya termasuk beruntung karena suami begitu mengerti keadaan saya. Dengan harapan, sang istri tetap beraktivitas (berproduksi) di sela-sela kegiatan sehari-hari sebagai ibu rumah tangga, suami membuatkan saya ‘kantor kecil’ di rumah sebagai tempat beraktivitas sambil menggeluti hobi lama saya tadi.
Akhirnya saya mengakui bahwa kemajuan teknologi informasi telah membantu keinginan-keinginan saya tersebut. Dengan komputer dan seperangkat alat elektronik lainnya, jadilah saya ‘lupa’ akan kondisi yang sempat meresahkan diri itu. Bahkan, berkat relasi yang terjalin baik, saya kerab mendapat job order dari teman-teman dan kolega di tanah air untuk mengirimkan tulisan-tulisan seperti cerita pendek, kisah perjalanan atau life style di negeri orang. Lumayan kan aktivitas saya mendapat penghargaan. Dan saya semakin yakin, apapun hal yang kita geluti secara serius akan menolong kita di manapun berada. Inilah bekal yang saya ibaratkan sebagai ‘payung’ tadi.
Kalau kita punya kemampuan (skill), saya percaya di manapun kita hidup akan lebih survive. Misalnya saja kembali ke sekolah untuk mempersiapkan diri ke jenjang yang lebih baik (bukankah bersikap tak pernah puas akan kemampuan diri lebih baik daripada bersikap cepat puas)? Dan sekali lagi, saya tetap berkomitmen kepada suami, bahwa menjadi isteri dan ibu tetap tugas utama saya. Saya berharap kesepakatan ini bisa berjalan harmonis sepanjang masa berkat sikap 3 P yang kami sepakati, Perhatian, Pengertian, dan Penghargaan. Semoga komitmen ini bisa bertahan hingga akhir hayat kami.

Harus Punya Skill!
Sementara itu, berkat suami yang memberi kebebasan pada saya untuk bergaul dengan siapapun--tentunya pertemanan yang bertanggungjawab), telah mendorong saya memiliki banyak teman di negeri baru ini. Yang juga berguna untuk apresiasi diri sendiri. Misalnya saja sewaktu majalah lokal setempat mereka membutuhkan seorang kolumnis, informasi itu dengan cepat bisa saya akses. Sekali lagi, corat-coret yang sering saya lakukan di waktu senggang telah menolong saya. Karena mereka mengaku terkesan dengan contoh tulisan-tulisan itu dan akhirnya menerima saya sebagai kolumnis baru di majalah mereka. So, rajin memupuk hobi, sekali waktu bisa menyelamatkan kita kan?
Punya banyak teman dari berbagai negara juga bermanfaat baik bagi kita. Saya sendiri mencari tahu dan belajar cara mereka menyesuaikan diri. Tentu saja ada cerita buruk dan ada cerita baik. Yang baik saya ambil dan yang buruk silakan dipakai buat perbandingan saja. Misalnya saja, seorang teman dari negara Asia Selatan mengaku pada saya, setiap hari harus melayani kebutuhan suaminya yang bekerja. Padahal dia ingin sekali bisa beraktifitas sesuai keinginan dan bakatnya, tetapi tentu saja itu sulit tercapai. Tetapi saya bisa memetik sesuatu dari cerita teman saya tadi, bahwa semangatnya yang besar untuk setia melayani keluarga menjadi inspirasi buat saya agar tetap optimistis menjalani hidup.
Tentu saja lain orang, lain pula kemampuan yang dimiliki. Seorang sahabat kebetulan punya hobi memasak (kuliner). Kemampuan itu juga berguna di negeri baru. Dia kerap diminta memasak oleh rekan-rekan kerja sang suami atau sahabat-sahabatnya yang kebetulan tahu tentang kemampuannya memasak. Bahkan di saat-saat tertentu (hari raya keagamaan) dia bisa mendapat order yang lumayan. Dan semua itu dilakukan sahabat saya di tengah-tengah mengurus suami dan anaknya. Hebat bukan?!
Yang ingin saya tandaskan di sini adalah, persiapan mental, ilmu dan kesehatan diri (fisik) bisa dibilang sebagai faktor mutlak (penentu) kita dapat bertahan menjalani hidup ini di manapun berada. Dan sekali lagi, tidak hanya lewat bacaan, cerita orang yang gagal/sukses sekalipun adalah media tepat untuk belajar.
Karena saya bicara tentang cerita hidup di negeri orang, maka meski kita menjadi pendatang, jangan pernah mau menjadi orang yang tertinggal. Manfaatkan saja segala fasilitas yang diberikan negara untuk meningkatkan kemampuan diri. Sekali lagi, beruntunglah kita karena di sebagian negara maju, fasilitas untuk publik tertata dengan baik, sebagai konsekuensi dari pajak pendapatan yang tinggi. Misalnya saja, perpustakaan umum yang nyaman menyediakan ribuan buku fiksi/non fiksi, produk audio visual, dan manfaat internet gratis bagi para anggotanya. Kita bisa belajar bahasa dan kemampuan lainnya secara gratis (biaya murah) di community center yang tersebar di berbagai penjuru kota.
Sementara itu kalau bicara tentang kesehatan, bukan rahasia umum lagi, bahwa iklim yang kurang bersahabat kadang menyulitkan aktivitas kita. Tetapi semua kendala itu bakal terlewati dengan persiapan matang yang saya uraikan tadi.

Perlunya Silaturahmi
Saya merasa sebagai perempuan Indonesia yang jauh dari sanak saudara di tanah air, punya teman dekat di tanah rantau amat berguna untuk menghapus rasa rindu pada keluarga yang kerap datang menghujam. Bukan hanya alasan rindu semata, kita butuh berteman banyak dengan saudara senasib atau dengan mereka yang datang dari budaya berbeda. Banyak hal positif yang bisa diambil dengan memiliki teman sebanyak mungkin di perantauan ini. Misalnya saja bisa saling meningkatkan iman dan takwa lewat kegiatan kelompok pengajian. Dari kegiatan seperti ini saja, saya telah mengenal banyak teman senasib yang akhirnya membuat kami semakin dekat satu dengan yang lain. Kalau kami sudah berkumpul, ada saja yang dilakukan atau dibicarakan, mulai dari saling berbagi cerita, curhat soal apapun, bertukar resep masakan, hingga arisan bareng.
Saat ini seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan Indonesia yang menikah dengan orang asing, antisipasi dari pihak-pihak yang peduli pun cukup baik. Kini berbagai organisasi yang mewadahi para perempuan Indonesia yang menikah dengan orang asing telah banyak berdiri. Di antaranya Yayasan Srikandi Indonesia, organisasi INDO-MC (Indonesia Mix Couple), dan YPC Melati.
Sebagian besar organisasi di atas ide awalnya adalah milis biasa--sebagai wadah tukar pikiran, diskusi dan berkumpulnya WNI yang menikah dengan WNA. Tapi saya lihat tujuan mereka cukup mulia dan berbobot, di antaranya yang terpenting mengusahakan dwi kewarganegaraan untuk anak-anak yang lahir dari perkawinan campur ini.
Mengapa masalah dwi kewarganegaraan untuk anak-anak dari pasangan kawin campur cukup penting? Berikut ini beberapa masalah yang mungkin bisa menjadi contoh atau gambaran, bahwa kami pun menginginkan kehidupan yang tenang dan damai seperti pasangan lainnya. Adalah hal yang wajar bila suatu saat nanti kita bisa kembali atau hidup di tanah kelahiran. Sudah pasti segala persiapan harus dilakukan sejak saat ini. Mulai dari apa yang bisa dilakukan nanti, seperti membuka usaha, atau menularkan kemampuan (berbahasa atau IT) kepada penduduk sekitar. Hal-hal di atas memang seperti rencana yang indah. Tapi bila harus memikirkan secara realitas soal perwujudan angan-angan tersebut, tentu saja menjadi hal yang menantang dan penuh perjuangan.
Mau tahu apa saja masalahnya? Pertama-tama soal visa yang dibutuhkan suami dan anak-anak bila ingin menetap di Indonesia. Hukum di Indonesia tak membolehkan perempuan memberi sponsor untuk suami dan anak-anaknya yang WNA itu tinggal di tanah air. Kecuali bila sang anak dan suami sama-sama WNI. Masalahnya, negara kita lagi-lagi tak mengenal sistem dwi kewarganegaraan. Maka itu beberapa organisasi seperti yang saya sebutkan di atas sedang memperjuangan soal dwi kewarganegaraan yang tujuannya bukan untuk mencari keuntungan semata.
Seperti halnya di Australia, masyarakat di sini memandang pasangan kawin campur sebagai sesuatu yang biasa. Bahkan mereka sering merasa ingin tahu budaya asing yang dibawa masyarakat dari negara lain. Tanpa bermaksud memburukkan nama bangsa sendiri, tentunya gambaran semacam ini masih jauh terjadi di negara kita. Contohnya ketika saya mendengar cerita teman-teman saya bahwa ketika mereka mudik ke tanah air, ada saja ucapan usil yang menganggu telinga. Seperti ini contoh ekstremnya,” Wah anak majikannya cantik ya, kerja di mana Mbak?”. Hahaha… saya ikut tertawa geli ketika seorang teman menceritakan pengalaman buruknya saat pulang kampung ke Indonesia.
Alhamdulillah, saya sendiri jarang mengalami hal-hal lucu seperti itu. Paling-paling banyak yang bertanya di mana bertemu suami? Kenapa menikah sama orang asing dan hal lain, yang masih bisa saya jawab dengan kepala dingin. Jadi jangan heran ketika nanti Anda ‘jalan’ dengan pria asing--terutama di Indonesia--banyak pandangan yang datang menghujam ke arah kita, karena itu sebagai ungkapan rasa ingin tahu saja.

Tips Penting
berikut ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan atau dipertimbangkan sebelum melangkah ke jenjang pernikahan. Sejak mengetahui bahwa hubungan kita serius, ada baiknya segera belajar memahami tata cara dan UU imigrasi yang berlaku di negara asal calon suami, alih-alih kita bakal diajak hidup olehnya di luar negeri. Jadi rajin membuka website kedutaan negara calon suami juga sangat membantu. Ini terjadi pada saya saat memulai aplikasi membuat visa di Kedutaan Australia Jakarta.
Begitu tahu suami bakal bekerja dan tinggal di Australia setelah kami menikah, saya rajin mengumpulkan dokumen yang dibutuhkan untuk membuat visa dan sebagainya. Ini penting, karena rata-rata proses pembuatan visa (apalagi untuk visa jangka panjang) memakan waktu lumayan lama, bulanan bahkan hingga tahunan, setiap individu berbeda. Karena itu tidak ada salahnya mencari tahu atau diskusi dengan mereka yang lebih dulu berpengalaman dalam hal ini.
Perjanjian pranikah adalah sesuatu yang penting dibuat sebelum menikah. Seperti yang saya utarakan di bagian sebelumnya. Ini bukan bermaksud menjadikan kita sebagai perempuan yang berpikir material semata, tetapi lebih kepada upaya untuk melindungi hak-hak kepemilikan pribadi yang kita peroleh di tanah air sebelum menikah.
Satu hal yang amat penting, pelajari secara luar dalam tabiat, karakter dan latar belakang budaya calon suami. Memang benar jodoh di tangan Tuhan, tapi kita bisa berusaha mencari jodoh yang terbaik dengan menggunakan ke lima panca indera kita sebaik mungkin. Gunakan pula akal pikiran kita agar tidak mudah terperosok oleh rayuan gombal atau hal-hal yang hanya baik di permukaan tapi buruk di dalam.
Jangan seperti membeli kucing dalam karung, apalagi jika kita mengenal jodoh lewat internet. Ingat, komunikasi yang baik dan dua arah serta sabar adalah kunci agar hubungan kita dengan pria WNA terbina baik. Bagi saya, lebih baik saling mengenal pribadi dan keluarga masing-masing lebih dulu, baru bicara lebih jauh soal pernikahan.
Kalau masih merasa kurang yakin dengan pasangan? Selidiki kepribadian calon suami lewat teman-teman dekatnya. Kalau dia serius, sudah pasti dia akan terbuka dengan Anda. Bahkan bila sang arjuna tinggal jauh di lain benua, dia bakal rela datang mengunjungi Anda dan berkenalan dengan keluarga Anda untuk mengenal lebih jauh pasangannya.
Yang terakhir, mungkin kita harus mulai berpikir positif bahwa pengertian antar budaya yang berbeda akan menciptakan suatu harmonisasi kehidupan. Sehingga pada akhirnya saling pengertian ini akan memecahkan karang penghalang seperti beda persepsi di antara banyak budaya lewat ajang yang bersifat diplomatis agar dunia menjadi lebih damai tanpa prasangka.
Australia, November 2005
***
 

Tommy

Member
May 11, 2005
655
0
16
RE: bila nikah campur jadi pilihan--secuil cerita dari “Nika

Harusnya gampang dibikin susah.. Tanya kenapa :p
 

Dyah

Member
Dec 29, 2005
453
0
16
Hamburg, Germany
www.ikat-agentur.com
RE: bila nikah campur jadi pilihan--secuil cerita dari “Nika

Bli Tommy,
semakin susah saja kalau bercerita soal-soal urusan dokumen. Pengalaman saya 14 tahun lalu gampang sekali soal surat-surat. Sekarang wah... repot sekali.
Dyah
 

smusdar

Member
Dec 19, 2005
167
0
16
jakarta
www.click4trip.net
RE: bila nikah campur jadi pilihan--secuil cerita dari “Nika

Harusnya gampang dibikin susah.. Tanya kenapa

hehehe...susahnya hidup di negara berkembang, lebih parah setelah diberi label "sarang terorist"..orang indo yang mau ke luar negeri semakin sulit..

Sekedar contoh, mau ke perancis untuk pengajuan schengen visa, sekalipun ada surat sponsor dari saudara/ kakak, harus ada attestation lettre dari le marie (surat keterangan dari walikota di perancis), masih diminta lagi sponsor untuk mengirim dokumen yang sama yang dipakai untuk mengajukan permohonan attestaion lettre??
harus ada asuransi internasional yang menjamin sebesar 30.000 euro????
apa orang indonesia kebanyakan mampu membayar sebanyak itu ??

Harusnya gampang dibikin susah.. Tanya kenapa
[/quote]
 

smusdar

Member
Dec 19, 2005
167
0
16
jakarta
www.click4trip.net
RE: bila nikah campur jadi pilihan--secuil cerita dari “Nika

M' Diah, sekalian saya koreksi judul buku yang pernah saya ceritakan..
tenyata ada perubahan judul (bukan "kisah kasih...")

:)

avaiable @ book stores (di indonesia tentunya)
 

Dyah

Member
Dec 29, 2005
453
0
16
Hamburg, Germany
www.ikat-agentur.com
RE: bila nikah campur jadi pilihan--secuil cerita dari “Nika

Sari...
aku akan minta belikan buku tersebut, ada muridku yang datang 1 Mai, mampir ke Jakarta juga sihh... jadi bisa titip. Btw. pengalaman Nuni Berger banyak identiknya dengan pengalaman aku... n mungkin dengan pengalaman temen2 lain. Salam dari Hamburg.
PS. Kalau ke Perancis, sekalian mampir ke Hamburg dong...
Dyah
 

smusdar

Member
Dec 19, 2005
167
0
16
jakarta
www.click4trip.net
RE: bila nikah campur jadi pilihan--secuil cerita dari “Nika

Halo Mbak,


ada muridku yang datang 1 Mai, mampir ke Jakarta juga sihh... jadi bisa titip. Btw. pengalaman Nuni Berger banyak identiknya dengan pengalaman aku... n mungkin dengan pengalaman temen2 lain. Salam dari Hamburg.
PS. Kalau ke Perancis, sekalian mampir ke Hamburg dong...
Dyah

Okay nanti aku beliin, dia -- ini yg rencana married sama indo ya ? -- bisa bikin appointment untuk ketemu aq ya.

BTW, Nuni itu --hehehe terpaksa buka rahasia-- kk ku nomor 2.
Kalo permohonan visa ku dikabulin, aku mau nginap di rumah kk ku lainnya di Perancis, dia udah tinggal di sana 16 thn.
Bener nih boleh mampir, aku emang rencana mau jalan2 ke belanda dan jerman (ada temennya temen, kalo ngga salah tinggal di hamburg deh)
mau buat tulisan sekalian..

BTW, kk ku Nuni juga tertarik mau kenalan sama Mbak, cuma ngga ikut bali expat. jadi kalo bisa aq minta email mbak, PM aq ya Thanks b4
 

irma1812

Member
Jan 27, 2004
227
0
16
UK
RE: bila nikah campur jadi pilihan--secuil cerita dari “Nika

Smusdar

Mampir ke Inggris Mbak? Rumahku cuma 40 menit dari Manchester airport tuh, gampang.......! :lol:

Being married to another nationality has too many complications but we've survived! Suami orang Inggris and we have been together for about 18 yrs now!! :shock:
 

Ratih

Member
Nov 3, 2004
34
0
6
U.S.A
RE: bila nikah campur jadi pilihan--secuil cerita dari “Nika

Hello, salam kenal semua.

Saya suka heran, kok perkawinan campur masih saja menjadi topic yang menarik. Dari dulu sampai sekarang media2 Indo masih saja suka membahas masalah2 kawin campur. Di jaman globalisasi macam sekarang ini, mestinya kawin campur bukan hal yang langka lagi, kan?

Ratih
 

smusdar

Member
Dec 19, 2005
167
0
16
jakarta
www.click4trip.net
RE: bila nikah campur jadi pilihan--secuil cerita dari “Nika

Hi Mbak Irma :)

enaknya ikutan forum :)
Doain aja mbak, dapat visa schengen.. tapi kalo ngga salah inggris tidak termasuk negara dalam list visa schengen ya ?
Aku mau tinggal sekitar 15 hari di rumah kk ngga jauh dari paris disneyland, praktek bhs perancis sama keponnakan2 yg sama sekali ga bsia bhs Indo dan ketemu temen2 di prancis & belanda, trus mungkin juga ke jerman, ke rumah kolega teman.

Iya kk ku yg di PRC sdh menikah selama 16 thn, yg satu lagi di OZ baru 3 thn..nikah -- baik dengan orang asing atau pun sesama bangsa/suku, tetap membutuhkan usaha darikedua belah pihak untuk MAU (willing) saling terbuka, pengertian, saling respect, dan terus kreatif, supaya semua tidak menjadi "keharusan" dan rutinitas yg membosankan.
Dear Ratih,

Nikah campur memang bukan hal yang baru... sudah lama terjadi sejaka jaman penjajahan belanda mungkin.

Tapi nikah campur yg saya maksud di sini adalah nikah campur berdasarkan UU perkawinan di Indonesia, dan juga dikaitkan dengan hukum indonesia yang berlaku (misal Hukum perdata, hukum Perdata Internasional, Hukum Agraria) (note : saya corporate lawyer, jadi membahas dari segi itu)

Dan krn kita memang saat ini sudah masuk era global, kita hidup dlm kampung global.. apalagi dgn adanay fasilitas internet, sekedar contoh, saya bisa sangat punya komunikasi yg intens dgn teman / saudara yg ada di luar. dgn chatting menggunakan web cam dan sykpe, atau fasilitas call di yahoo messenger.. semuanya itu menjadi mungkin, distance no longer does matter :)
 

Tommy

Member
May 11, 2005
655
0
16
RE: bila nikah campur jadi pilihan--secuil cerita dari “Nika

Quote:
Saya suka heran, kok perkawinan campur masih saja menjadi topic yang menarik. Dari dulu sampai sekarang media2 Indo masih saja suka membahas masalah2 kawin campur. Di jaman globalisasi macam sekarang ini, mestinya kawin campur bukan hal yang langka lagi, kan?

Ratih,
"Satus sing ade susuk!" :p Perkawinan campur ngga topic yang begitu menarik ataupun kontroversial buat saya karena saya anggap itu biasa2 aja. Bukan karena sudah 'biasa2 saja' di bali (jawa ngga tahu) tapi sebab saya sendiri anggap "Masalah" visa, agama,kebudayaan dan peraturan negara2 hal kecil yang tidak pernah jadi halangan untuk 2 orang yg sudah jodoh. Itu aja. makanya....

Harusnya gampang dibikin susah.. Tanya kenapa... :p
 

smusdar

Member
Dec 19, 2005
167
0
16
jakarta
www.click4trip.net
RE: bila nikah campur jadi pilihan--secuil cerita dari “Nika

Tommy,

Kalau emang jodoh emang ngga kemana,but the reality is :kita hidup dlm satu negara, yg mau ngga mau, suka ngga suka, hal- hal yg bahkan untuk hal yg menurut kita privacy pun diatur negara..

Contohnya nih, sekedar mau ketemu sodara / temen/ pacar di luar negeri.. cuma bbrp hariaja, kita mesti tunduk sama aturan yg dibuat negara lain :( apa bisa kita keluar negeri begitu aja, tanpa tunduk sama aturan negara lain? c'est la vie..

di jaman global spt ini kejadian yg terjadi negara org pun, bisa mempengaruhi hidup kita, contoh kejadian 11/9 di US, bikin kita di indo semakin susah mau jakan2 ke sana..kejadian riot di Perancis, sama juga :(


Harusnya gampang dibikin susah.. Tanya kenapa...
 

Unique

New Member
Mar 9, 2006
17
0
1
Melbourne-Oz
RE: bila nikah campur jadi pilihan--secuil cerita dari “Nika

Hi semua, met kenal:)))

Saya Unique (alias Nuni) yg nulis buku ttg nikah campur itu. Akhirnya berkat promosi yg gencar dari adik saya soal milis menarik ini, saya ikut gabung juga(walo mungkin ga bisa seaktif yg lain). Saya mau sedikit kasih klarifikasi soal tulisan tsb. Memang benar bila ada pendapat yg bilang masalah kawin campur adalah masalah yg biasa, mungkin basi di era teknologi canggih saat ini (semua pendapat baik itu kritikan tajam sekalipun syah-2 aja) rambut sama hitam belum tentu jenisnya sama. Dan kita wajib menghormati setiap perbedaan itu. Deal!! Sedikit background, buku ini adalah project dari teman-2 penulis di Jkt yg concern dgn kondisi khasanah kesusastraan di Tanah Air. Seperti kita tahu saat ini banyak chiklit dan buku-2 sejenis lainnya yg kebanyakan saduran dari luar (asing), kalopun ada masih banyak yg berkisah ttg kisah cinta ala ABG. Sementara banyak kisah dari Indo yg ga kalah menarik bila kita 'mau dan rajin' menggalinya. Nah, kesempatan emas ini alangkah baiknya bila dimanfaatkan untuk meraih pangsa pansar pembaca di kalangan dewasa muda. Ceritanya, para kumpulan penulis yg kini bermukim di luar atau mereka yg masih 'betah' berjuang di Tanah Air punya obsesi/idealisme ingin membangkitkan rasa cinta pada produksi dalam negeri (setidaknyadlm bidang tulis menulis), mereka ingin mempersembahkan khasanah cerita dari kisah pengalaman anak negeri (yg tentunya berbobot) serta ada nilai edukasinya. Ini proyek pertama kami, untungnya ada saja pihak yg masih berpikiran segar dan mendukung ide-ide 'gila' ini walo rugi taruhannya, tapi kalo sukses (amin) akan disusul dgn proyek berikutnya seputar multikulturalisme di negara-2 Barat. Kami sih sudah bertekat, bakal bergerilya (independen) untuk mempromosikan buku ini dan melanjutkan project berikutnya. Terkait informasi, kami tahu, tidak semua org Indo terutama yg ga punya akses ke internet, tahu akan perkembangan-2 seputar isssue-2 spt yg ada di kumpulan cerita buku ini. Kalo mau jujur, berapa banyak sih org Indo yg bisa punya akses internet spt 'kita' yg beruntung ini? Daya dan minat baca org Indo pun ga sebesar negara-2 lain (terutama perempuannya) miris memang, karena itu kita berupaya menghadirkan cerita yg menarik dan mengundang mereka ingin tahu (baca) syukur-2 sih mau beli. Kami sadar masih banyak kekurangan di sana sini, tapi kalo tidak memulai dari sekarang, kapan kita bisa sejajar dgn negara-2 lain? Jangan-2 selama hayat masih di kandung badan, selamanya kita cuma bisa jadi penonton, padahal produk Cina udah terbang ke mana-mana. So, buat yg udah berpengalaman dlm hidup berumahtangga, baik itu ganda campuran atau ganda lokal he he he, silakan memberi masukan kepada saya, saya amat sangat membuka diri. Dan mungkin masukan kalian akan menjadi sumber inspirasi untuk penerbitan berikutnya.

Note: soal visa, bukan rahasia umum lagi betapa sulitnya apply visa ke beberapa negara tertentu saat ini. Saya mungkin cukup beruntung hanya perlu waktu 2 bulan utk menunggu spouse visa saya di-ACC. Sementara yg lain, sangat bervariasi mulai dari yg 6 bulan sampai tahunan, tergantung kondisi kita (dan pasangan) masing-2, di Australia hukum imigrasinya banyak mengalami perubahan. Saya sempat tanya kpd interviewer saya di Aussie embassy Jkt, kenapa setiap org beda-2 dlm mendapatkan visa? (namanya juga jurnalis selalu ingin tahu dong) Dia bilang, pem Aussie sgt ketat saat ini, dan mereka sangat jeli (belajar dr banyak kasus) bahwa banyak pasangan yg akhirnya ketahuan hubungan mereka tidak menunjukkan hubungan pernikahan yg 'genuine' adanya! Suami saya sih udah maklum soal ini, karena dia selalu membaca berita-2 update yg berkaitan soal ini, paling enggak inilah realita sesungguhnya, yg ingin kami ungkapkan kepada para pembaca dan mereka yg berencana ato ingin menikah dgn WNA, ada susah dan senangnya loh (kayak permen, nano nano, hidup jadi rame dan berasa kan!. Dan akhirnya kami kembalikan kepada pembaca yg mulia sekalian, silakan memilih sesuai hati nurani masing-2.

Salam damai untuk semua.
 

pooochie

Member
Aug 8, 2005
331
0
16
UK
RE: bila nikah campur jadi pilihan--secuil cerita dari “Nika

Hi Nuni

Nuni said:
ingin membangkitkan rasa cinta pada produksi dalam negeri (setidaknyadlm bidang tulis menulis),

Yes, Hidup produk dalam negeri.

Selamat datang di forum ini dan terima kasih atas tulisannya. Wah Sari senang dong punya banyak kakak. Ajak kakak yang lainnya dong supaya lebih seru.

Walaupun saya sudah kawin hampir 8 tahun saya rasanya masih cinta ABG :oops: belom siap masih di pangil Nyonya (jadi ingat nyonya Menir - merek jamu). Saya dengan suami saya memang suami istri tapi kita lebih seperti teman dekat. Waktu itu saya kawin muda (22 tahun) saya bilang saya belom siap jadi istri. Dia ok ok saja, yang penting dia bilang dia pingin kawin dengan saya. Dia 10 tahun lebih tua dari saya.

Saya dan suami saya sama-sama sibuk. Kalau saya pikir-pikir setiap hari (hari kerja) mungkin ketemu suami 3-4 jam. Habis itu kerja lagi: payah deh. Kalau urusan rumah gampang saja: do-it-yourself (saya sampai sekarang belom siap jadi istri) :lol: Yang repot minta dilayani dirumah saya itu si Kucing sayangku. Makan minta ditunguin atau disuapin, kalau mau keluar dan masuk minta dibukakan pintu. Nuni ada tips untuk kucing tidak. Saya dan suami saya benar-benar jadi babu kucingku. Sorry banyak ngomong tentang kucing :oops:

Back to the subject. Seenak-enaknya negeri orang lebih enak negeri sendiri. Itu menurut saya. Karena itu saya akan pulang kampung ke tanah air tercinta (Bali) bawa kucing dan suami saya semoga dalam waktu secepatnya. Saya enggak pernah betah dengan udara dingin. Kalau suami sih ngikut saja, cuman kucingku ini yang masih tanda tanya besar :cry: . Mungkin saya nanti sampai di Bali sudah siap jadi istri beneran :oops:

Salam Kucing

Ni Luh

PS Kak Dyah jadi pindah ke Bali?
PPS Irma jangan takut pindah ke Bali. Nanti kalau jadi pindah you can come around to my house at Jimbaran beach for tea. Suamiku juga orang Ingris.
PPS When I am in Bali you can all come around to my house for tea kita bisa ngrumpi-ngrumpi dan gosip-gosip. :lol: Don't worry nanti suami saya akan saya suruh keluar rumah supaya kita bebas ngobrol tentang kaum lelaki asing/bule kita. Nanti saya suruh dia mancing ikan tuna untuk kita makan... :lol: tugas suami cari makan kan :shock: :oops: :)
 

Tommy

Member
May 11, 2005
655
0
16
RE: bila nikah campur jadi pilihan--secuil cerita dari “Nika

Jelas dong lebih susah buat orang Indonesia ke luar negri daripada orang asing ke Indonesia. Fair? Ngga juga, tapi kenyataanya Indonesia banyak teroris (buktinya bertambah terus sampe orang2 di tanah airpun pusing) dan negara-negara lain harus waspada pada orang Indonesia yang ingin mengunjungi negaranya. Sebaliknya, susah juga untuk orang asing yang ingin tinggal di Indonesia, menikah atau ngurusin kewarganegaraan/visa anak dan 'hak kekeluargaan'. Smusdar, beberapa post 'ke atas' :) kamu mempersoalkan WNI harus punya jaminan dari asuransi yang cukup tinggi kalau mau ke Perancis. Tuh'kan bukan masalah... asuransinya yang harus menjamin 30.000 Euro itu.. bukan kamu. Harga asuransi'kan cuman beberapa jt par tahun. Kalau punya uang untuk ongkos visa dan ticket yang cukup mahal.. asuransi tuh cuman 20% dari total ongkos jalan.
 

Dyah

Member
Dec 29, 2005
453
0
16
Hamburg, Germany
www.ikat-agentur.com
RE: bila nikah campur jadi pilihan--secuil cerita dari “Nika

Hallo semua,
enak juga... jadi rame forum bahasa nih. Selamat datang juga buat Nuni...

Pooochie,
aku jadi pindah dalam 5 tahun mendatang, tapi rencananya 6 bulan di Indonesia, 6 bulan di Jerman karena aku masih aktif di Agenturku. Meskipun masih 5 x 365 hari lagi, aku udah siap-siap pelan-pelan dari sekarang... sudah ada tempat tinggal di Jimbaran, nggak jauh dari GWK dan Kampus Udayana....tinggal siapkan yang lain-lain. Kaya siapkan setiap kali liburan sommer di Bali (kecuali tahun ini).

Soal kawin campur ... memang sebenarnya gak baru lagi, kalau dilihat2 ... dari jaman dulu sampai sekarang agaknya tema2 seputarnyapun banyak yang tidak berubah. Waktu aku ditanya kakak-kakakku mengapa aku memilih suamiku yang orang Jerman ini... jawabanku saat itu: "Loh, jawabanku sama dong seperti Mbak memilih Mas (iparku) ... karena cinta"

Memang sih, sudah globalisasi saat ini, tapi kalau menyangkut tempat2 terpencil ... yang masih belum tersentuh dengan multikulturalisme... hal ini masih jadi bahan sorotan.
Saya sendiri paling senang kalau berada di di kota-kota besar yang sangat multikultural seperti Paris, Amsterdam, New York dan kota-kota sejenis... karena kita jadi tidak punya perasaan asing... "One World One People" perbedaan dilihat sebagai nuansa yang membuat dunia ini tambah indah.

Tetapi sayang, ada peraturan pemerintahan dan tetek bengek surat-surat yang membuat sempit dunia ini.
Dyah
 

pooochie

Member
Aug 8, 2005
331
0
16
UK
RE: bila nikah campur jadi pilihan--secuil cerita dari “Nika

Hi Kak Dyah

Dyah said:
ada tempat tinggal di Jimbaran, nggak jauh dari GWK dan Kampus Udayana....tinggal siapkan yang lain-lain. Kaya siapkan setiap kali liburan sommer di Bali (kecuali tahun ini).

Kak Dyah, Bokap and Nyokap saya juga mau pindah ke Bukit habis sudah suntuk di Denpasar dan supaya juga dekat dengan Udayana dan tentu dekat sama saya :oops: . Sepertinya dekat dengan rumahnya Kak Dyah deh. Bisa-bisa kak Dyah tetanga dengan ortu saya. Dunia sangat kecil ternyata.

Anyway, nanti mampir-mampir kalau di Bali. Kita bisa buat arisan expat wife :oops: sambil masak masak dari beberapa negara. Angota arisan :lol: , saya, Kak Dyah, Irma, Kak Dahlia, siapa lagi ya yang akan tingal di Bali :?:

Salam manis kucing :wink:
Ni Luh
 

pooochie

Member
Aug 8, 2005
331
0
16
UK
RE: bila nikah campur jadi pilihan--secuil cerita dari “Nika

Iya sampai lupa.

Bapak Jimbo tersayang juga mau pindah ke Bali. Iya kan Bapak Jimbo :?: .

Nanti nyonya bisa kita ajak The Bali Forum Expat Wifes' Club untuk arisan dan masak-masak :lol: . Katanya Nyonya pintar masak, bisa ajarin saya dong.

What do you think :?:

Kind regards

Ni Luh
 

Tommy

Member
May 11, 2005
655
0
16
RE: bila nikah campur jadi pilihan--secuil cerita dari “Nika

Tetapi sayang, ada peraturan pemerintahan dan tetek bengek surat-surat yang membuat sempit dunia ini.

Sangat benar Mbak Dyah. Seratus.. ngga punya susuk nih! :)